Cerita Silsilah Keturunan Pasek Tangkas Kori Agung Presana
OM Awighnam Astu Namo Sidham
OM Swastyastu
Sembah sujud hamba
kepada Betara Hyang Kawitan, semoga beliau berkenan melimpahkan anugrah kepada
kami yang sangat lancang berani menuliskan riwayat para leluhur yang telah amor
ing acintya.
Atas asung kerta wara
nugraha beliaulah maka kami akan menuliskan jejak sejarah yang masih tercecer
dalam catatan Lontar Babad dan Pralintih yang kami temukan di beberapa lontar
serta penjelasan atau cerita dari para lingsir kami.
Catatan dan cerita yang
kami dengar menyatakan bahwa:
Pada masa pemadegan
pemerintahan adipati I Gusti Ngurah Sibetan Cemeng di Selat, berlokasi di
daerah pegunungan Besakih terjadilah pergolakan politik yang mengarah pada
usaha menentang kekuasaan I Gusti Ngurah Sibetan Cemeng di Jero Gede Selat.
Kelompok masyarakat
tersebut konon dipimpin oleh seorang tokoh sakti mandra guna bernama 1 Gusti
Wayan Kompyang, tos Arya Bang Sidemen. Berita pergolakan politik tersebut
akhirnya sempat terdengar oleh I Gusti Nengah Sibetan Cemeng, atas laporan dari
telik sandi yang didengarkan untuk menyelidiki. Setelah cukup fakta-fakta atau
bukti-bukti terkumpul dan diperkuat saksi-saksi, maka I Gusti Nengah Sibetan
Cemeng segera bertindak memerintahkan untuk menangkap I Gusti Wayan Kompyang
dan di hadapkan ke Jero Gede Selat untuk diperiksa dan diadili. Dalam
pemerikasaan itu terungkap bahwa I Pasek Tangkas Kori Agung, yaitu sebagai
Bendesa Batumadeg ikut terlibat. Maka I Bendesa Batumadeg pun ikut ditangkap,
dan dibawa menghadap ke Jero Gede Selat dengan dibarengi dengan anaknya yang
masih muda bernama I Gede Tangkas Nurjaya.
I Gusti Nengah Sibetan
Cemeng memutuskan bahwa I Gusti Wayan Kompyang dan I Bendesa Batumadeg untuk
dihukum selong, dibuang dan diasingkan ke Sasak. Yang mana keputusan Adipati
Selat, disetujui oleh Raja Karangasem.
Maka eksekusi pun
dilaksanakan dan I Gusti Kompiyang dan I Bendesa Batumadeg diberangkatkan ke
Sasak dengan pengawalan disertai surat pengantar untuk Paduka yang mulia Raja
Mataram. Setiba di Sasak, I Gusti Wayan Kompiyang dan Bendesa Batumadeg menjadi
hamba (parekan) Raja Mataram. Setelah beberapa tahun I Gusti Ngurah Kompiyang dan
Bendesa Batumadeg menghamba pada Raja Mataram, terlihatlah keistimewaan ilmu
kesaktian I Gusti Wayan Kompiyang.
Pada suatu waktu, Raja
Mataram mendapat laporan rakyat, bahwa pohon kayu ketima yang terdapat pada hutan
Gili Bangko-Bangko terlihat pada malam hari selalu menyala berkobar-kobar.
Raja mengirim para
perwira dan para rohaniawan untuk menyelidiki kejadian itu. Dalam rombongan itu
termasuk I Gusti Wayan Kompiyang ikut serta dalam keberangkatan. Setelah tiba
di hutan, lalu digelar upacara sesaji didekat pohon kayu ketima itu. Atas
kesediaan atau kesaktian I Gusti Ngurah Kompiyang maka hantu / tonya atau yang
menempati pohon kayu ketima itu bersedia berkomunikasi dan bersedia untuk
menampakan diri bila tidak diapa-apakan (dianiaya) serta menurut kepada
kehendak I Gusti Ngurah Kompiyang. Pada akhirnya tampaklah hantu / tonya itu
berupa barong yang sangat besar dan menyerahkan diri kepada I Gusti Ngurah
Kompiyang untuk dibawa menghadap Raja Mataram. Raja sangat terkejut dan kagum
pada kesaktian I Gusti Ngurah Kompiyang yang dapat menundukan hantu / tonya
yang amat menakutkan.
Atas saran I Gusti Wayan
Kompiyang, kayu ketima tersebut ditebang, yang mana didalam unteng / les kayu
tersebut terdapat pellet yang warnanya luar biasa indahnya. Baik untuk gagang
keris dan urangka / sarung keris.
Dari sejak itu Raja
Mataram sangat menyayangi I Gusti Wayan Kompiyang dan I Bendesa Batumadeg. Maka
sangat berbahgialah kedua orang buangan itu tinggal di Sasak tiada kurang suatu
apapun, dihormati oleh rakyat dan disayang oleh Raja.
Sekarang dikisahkan putra
I Bendesa Batumadeg yang bernama I Gede Tangkas Nurjaya yang masih ada di Bali.
Atas jaminan pamannya
sekeluarga yaitu I Pasek Tangkas Kori Agung di Babakan Selat, Adipati Selat, I
Gusti Ngurah Sibetan Cemeng mengirim dan diajak di Babakan Selat sekaligus
selaku hamba parekan Jro Gede Selat. Maka tetaplah I Gede Tangkas Nurjaya
inilah menurunkan tiga orang putra yang bernama:
1. Nurija
2. Nukara
3. Nuraji
Ketiga putra ini sangat
setia menghamba di Jero Gede Selat. Beberapa puluh tahun kemudian yang mana
wafatnya I Gusti Nengah Sibetan Cemeng, beliau digantikan oleh putranya yang
bergelar I Gusti Nengah Sibetan Gingsir.
Pada masa pemerintahan I
Gusti Nengah Sibetan Gingsir inilah tiga bersaudara itu ditugaskan memelihara
kebun milik Raja.
1.
I Nuraja tetap di Babakan mengawasi perkebunan
di Pacet dan di Gelumpang. Selanjutnya berkembang menurunkan warga Tangkas di
Babakan sampai sekarang.
2.
I Nukara ditugaskan memelihara kebun milik
Raja di Pura Sana dan Batuasah. Selanjutnya berkembang di Pura Sana dan kini
bernama Presana dan setelah berkembang Tangkas di Presana lalu diijinkan
membuat Pura Paibon serta Pura Panti. Warga Tangkas turunan I Nukara ini
sebagai pemimpin (Kliang Pura) sampai sekarang ini tercantum dalam lontar
purana pura panti Presana paican I Gusti Nengah Sibetan.
3.
Adapun I Nuraji ditugaskan mengatur para
hamba di Dauh Pasar Selat sampai dauh Jro Gede mengingatkan jatah makanan dan
nimbang padi di sambi untuk dijual dan jatah para patih dan lain-lain.
Selanjutnya karena Gustinya yang bernama I Gusti Putu Padang Nambi berpindah
majero ke Duda, maka I Nuraji yang disayang mengikuti Gustinya pidah ke Duda,
inilah menurunkan warga Pasek Tangkas Kori Agung di Duda yang ada sekarang.
Demikian dapat dituliskan
dokumen yang masih tercecer pada Catatan babad raja purana Pura Panti yang
sekarang dipegang oleh Keliang Desa Presana dan salinannya ada di Jro Gede
Selat.
Posting Komentar untuk "Cerita Silsilah Keturunan Pasek Tangkas Kori Agung Presana"